Author : SUBANDI RIANTO
Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan
spasial [1]. Jika kalangan sejarawan Barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih.[2] Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengantegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M [3].
Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China [4].
Jika ada beragam banyak daerah yang memulai islamisasi atas kepulauan nusantara. Maka
dapat disimpulkan bahwa proses islamisasi pasti diikuti oleh difusi kebudayaan. Dimana difusi tersebut melibatkan migrasi beragam etnis benua lain untuk masuk ke nusantara. Proses tersebut akhirnya membuat nusantara menjadi penuh oleh keanekaragaman etnis. Prof. Sartono Kartodirjo menuliskan bahwa jaringan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad 14 telah dipenuhi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina dll. Mereka membuat pemukiman disepanjang kantong-kantong perdagangan Semenanjung Malaya. Bercampur baur dengan penduduk asli dan mengalami akulturasi kebudayaan [5]. Setelah etnis muslim India mewarnai nusantara lewat jalur Selat Malaka. Kemudian etnis Cina juga mewarnai kemajemukan masyarakat nusantara melalui migrasi besar-besaran. Tesis terakhir diperkuat pendapat bahwa serangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 memberikan efek besar bagi etnis muslim Cina (Hui)[6] di Kedah. Kedah saat itu merupakan kota satelit muslim Cina dalam pelariannya dari negara asal. Ketika itu negeri Cina dilanda sebuah pemberontakan melawan kaisar. Kaisar sangat marah dan menuduh etnis Hui sebagai pelakunya. Untuk menghindari tekanan politik kaisar Cina. Etnis Hui bermigrasi ke Kedah. Akibat serangan Portugis pada 1511 membuat mereka berdiaspora ke seluruh kepulauan nusantara.
Sebuah pengantar diatas sengaja saya tampilkan untuk pembuka sebuah analisis terjadinya fenomena heterogenisasi etnis-etnis muslim di kepulauan nusantara. Periodisasi pisau analisis akan tetap
mengikuti pembabakan yang ditulis Prof. Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, yang menulis diawali dari runtuhnya kerajaan Hindu-Budha, terbentuknya jaringan
kota-kota Islam yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Serta ditutup dengan
kedatangan bangsa kolonial atas kepulauan nusantara. Fokus utama pisau analisis terletak dari komposisi kependudukan etnis muslim yang secara spasial masih dalam satu kota. Praktis studi demografi kali ini akan banyak menyinggung tentang kota juga sebagai sebuah ruang heterogenisasi etnis muslim. Sartono mengawali tentang pola perdagangan Asia Tenggara yang denyut nadinya membesar di Semenanjung Malaya. Awal abad 13 terbentuk banyak pemukiman di sekitar pantai timur Sumatera. Bertepatan dengan gelombang besar Islamisasi atas kepulauan nusantara, banyak pedagang muslim beragam etnis mulai mendirikan pusat-pusat perdagangan. Malaka, Aceh hingga Palembang menjadi contoh yang baik akan pemukiman Muslim. Naguib Alatas bahkan menyakini di Kanton-Cina pada periode yang sama telah berdiri pemukiman pedagang muslim dari berbagai etnis. Bukti terkuat jaringan perdagangan tersebut (relasi perdagangan arab dan nusantara) adalah surat-menyurat antara kekhalifahan Umar dengan Maharaja Sriwijaya. Serta kunjungan Sahabat Nabi Muhammad SAW, Saad bin Abi Waqqash yang mendirikan masjid Canton di Cina. Relasi perdagangan antara nusantara dan arab membuat diaspora masyarakat arab masuk ke nusantara.
Pusat-pusat perkampungan Arab dapat ditemui di jalur strategis yaitu Jayakarta (sekarang Kampung
Melayu) hingga Ampel-Denta (Gresik-Surabaya). Bahkan, setelah jatuhnya Malaka kepada Portugis.
Hubungan dagang tersebut tetap dilakukan dan berpindah ke Banten.
[1] Riklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, 2000). Hal 1.
[2] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta, 2009) KPG.
[3] Radinal Mukhtar Harahap, Peaceful Jihad for Teens (Jakarta, 2011) Gramedia, Hal 70.
[4] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta, 2007) LKis.
[5] Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium ke Imperium (Jakarta, 1999) Gramedia hal 4.
[6] Etnis Cina yang memeluk muslim disebut Hui
Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan
spasial [1]. Jika kalangan sejarawan Barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih.[2] Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengantegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M [3].
Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China [4].
Jika ada beragam banyak daerah yang memulai islamisasi atas kepulauan nusantara. Maka
dapat disimpulkan bahwa proses islamisasi pasti diikuti oleh difusi kebudayaan. Dimana difusi tersebut melibatkan migrasi beragam etnis benua lain untuk masuk ke nusantara. Proses tersebut akhirnya membuat nusantara menjadi penuh oleh keanekaragaman etnis. Prof. Sartono Kartodirjo menuliskan bahwa jaringan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad 14 telah dipenuhi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina dll. Mereka membuat pemukiman disepanjang kantong-kantong perdagangan Semenanjung Malaya. Bercampur baur dengan penduduk asli dan mengalami akulturasi kebudayaan [5]. Setelah etnis muslim India mewarnai nusantara lewat jalur Selat Malaka. Kemudian etnis Cina juga mewarnai kemajemukan masyarakat nusantara melalui migrasi besar-besaran. Tesis terakhir diperkuat pendapat bahwa serangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 memberikan efek besar bagi etnis muslim Cina (Hui)[6] di Kedah. Kedah saat itu merupakan kota satelit muslim Cina dalam pelariannya dari negara asal. Ketika itu negeri Cina dilanda sebuah pemberontakan melawan kaisar. Kaisar sangat marah dan menuduh etnis Hui sebagai pelakunya. Untuk menghindari tekanan politik kaisar Cina. Etnis Hui bermigrasi ke Kedah. Akibat serangan Portugis pada 1511 membuat mereka berdiaspora ke seluruh kepulauan nusantara.
Sebuah pengantar diatas sengaja saya tampilkan untuk pembuka sebuah analisis terjadinya fenomena heterogenisasi etnis-etnis muslim di kepulauan nusantara. Periodisasi pisau analisis akan tetap
mengikuti pembabakan yang ditulis Prof. Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, yang menulis diawali dari runtuhnya kerajaan Hindu-Budha, terbentuknya jaringan
kota-kota Islam yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Serta ditutup dengan
kedatangan bangsa kolonial atas kepulauan nusantara. Fokus utama pisau analisis terletak dari komposisi kependudukan etnis muslim yang secara spasial masih dalam satu kota. Praktis studi demografi kali ini akan banyak menyinggung tentang kota juga sebagai sebuah ruang heterogenisasi etnis muslim. Sartono mengawali tentang pola perdagangan Asia Tenggara yang denyut nadinya membesar di Semenanjung Malaya. Awal abad 13 terbentuk banyak pemukiman di sekitar pantai timur Sumatera. Bertepatan dengan gelombang besar Islamisasi atas kepulauan nusantara, banyak pedagang muslim beragam etnis mulai mendirikan pusat-pusat perdagangan. Malaka, Aceh hingga Palembang menjadi contoh yang baik akan pemukiman Muslim. Naguib Alatas bahkan menyakini di Kanton-Cina pada periode yang sama telah berdiri pemukiman pedagang muslim dari berbagai etnis. Bukti terkuat jaringan perdagangan tersebut (relasi perdagangan arab dan nusantara) adalah surat-menyurat antara kekhalifahan Umar dengan Maharaja Sriwijaya. Serta kunjungan Sahabat Nabi Muhammad SAW, Saad bin Abi Waqqash yang mendirikan masjid Canton di Cina. Relasi perdagangan antara nusantara dan arab membuat diaspora masyarakat arab masuk ke nusantara.
Pusat-pusat perkampungan Arab dapat ditemui di jalur strategis yaitu Jayakarta (sekarang Kampung
Melayu) hingga Ampel-Denta (Gresik-Surabaya). Bahkan, setelah jatuhnya Malaka kepada Portugis.
Hubungan dagang tersebut tetap dilakukan dan berpindah ke Banten.
[1] Riklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, 2000). Hal 1.
[2] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta, 2009) KPG.
[3] Radinal Mukhtar Harahap, Peaceful Jihad for Teens (Jakarta, 2011) Gramedia, Hal 70.
[4] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta, 2007) LKis.
[5] Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium ke Imperium (Jakarta, 1999) Gramedia hal 4.
[6] Etnis Cina yang memeluk muslim disebut Hui