Saturday, April 12, 2014


Oleh: Wahyu Ilman Patria


     Situs masa Kerajaan Majapahit -yang oleh sebagian besar Arkeolog dipercaya sebagai bekas ibukota- adalah Trowulan yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Penelitian yang pertama kali terhadap situs ini dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Gubernur Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya, Wardenaar selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit...” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan. Ada tiga sumber yang dapat memberikan keterangan mengenai ibukota ini, yaitu data arkeologi, sumber berita Cina, dan kitab Nāgarakrtāgama. (Rahardjo, 2011:132).


       Banyak usaha telah dilakukan untuk mendapatkan gambaran seperti apa sebenarnya bentuk dan isi ibukota Kerajaan Majapahit. Situs Trowulan benar-benar berada dalam “kepungan” peneliti. Diantara peneliti-peneliti tersebut muncul nama-nama seperti Henry Maclain Pont (1926) yang berhasil membuat denah ibukota Kerajaan Majapahit, dan T.G.Th Pigeaud (1962) yang melakukan penelitian di Trowulan berdasarkan naskah Nāgarakrtāgama yang berhasil diterjemahkannya. Berbagai kegiatan penelitian arkeologi di Trowulan terus dilakukan, baik secara perorangan maupun secara institusional. (Riyanto, 2011)
       Hasil penelitian arkeologi di situs Trowulan menghasilkan temuan-temuan penting yang dapat dikategorikan kedalam tabel berikut (Miksic, 1996 dalam Rahardjo, 2011:132):

No.
Temuan
1.
Pintu Gerbang
·         Tanpa atap: Gapura Wringin Lawang.
·         Dengan atap: Gapura Bajang Ratu.
2.
Bangunan Keairan
·         Kolam: Segaran, Balong Bunder, Balong Dowo
·         Kanal-kanal.
3.
Bangunan Keagamaan
·         Candi tanpa banguan air: Candi Gentong, Brahu, Minak Jingga, Sitinggil.
·         Candi dengan banguan air: Candi Tikus, Situs Pakis.
4.
Bangunan Pemukiman
·         Perkiraan Istana: Situs Kedaton.
·         Perumahan biasa: Rumah lantai segi delapan (Situs Sentonorejo).
·         Hunian Padat: sekitar situs Segaran, situs Nglinguk.
·         Bangunan umum (?): Situs Umpak.
·         Pusat Kerajinan: Emas (situs Kemasan), perunggu (situs Pakis).
5.
Bangunan Makam
·         Tralaya (Makam Islam)
·         Makam Puteri Cempa
  Tabel 1.1: Temuan-temuan penting di Situs Trowulan tahun 1996
                                                Sumber: John N. Micsic
       Selain informasi penelitian dalam tabel diatas, juga didapat informasi dari survei pada tahun 1991 dan 1992. Berdasarkan survei tersebut dapat dikemukakan gambaran awal bahwa luas seluruh situs ialah 99 kilometer persegi, dengan orientasi utara-selatan sepanjang 11 kilometer, dan timur-barat sepanjang 9,9 kilometer. Selain itu survei tersebut menghasilkan data berupa pola pemukiman yang menunjukkan bentuk yang tidak rapat, melainkan merupakan pemusatan sejumlah pemukiman yang satu sama lain dipisahkan oleh pekarangan-pekarangan (Miksic, 1992, dalam Rahardjo, 2011:132)     
       Pada tahun 2008 diadakan penelitian terhadap situs arkeologi Trowulan oleh Setyawan (2008), Mahasiswa Teknik Geomatika ITS bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Digital Elevation Model (DEM). Sistem Informasi Geografis memudahkan dalam mengakses, menyimpan, melakukan editing dan updating data mengenai situs-situs Kerajaan Majapahit. Dari DEM yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa sebagian besar situs-situs Majapahit di Trowulan berada pada daerah yang relatif datar, yaitu dengan ketinggian antara 25 sampai 65 meter, kecuali situs Tugu Umpak Jabung. Pada daerah Tugu Umpak Jabung ketinnggiannya mencapai 184 meter. Hal ini dapat dilihat dari DEM pada situs Tugu Umpak Jabung yang memiliki topografi berbukit. (Setyawan dkk, 2008:37)
       Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal dan sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata.
Gambar 1.1: Peta Situs Trowulan

       Lebar kanal-kanal itu berkisar antara 35 hingga 45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.
      Situs Trowulan berada pada ujung kipas alluvio vulkanic Jatirejo (tanah alluvial yang terbentuk akibat terbawa oleh aliran sungai yang berasal di puncak gunung) yang materi komposisinya berupa batu, pasir, dan tanah yang berasal dari Gunung Welirang dan Anjasmoro. Tanah ini bersifat subur tetapi di musim kering mengalami kekurangan air. Hal ini disebabkan oleh tanah yang tidak biasa menyimpan air hujan. Berdasarkan data tersebut, tidak menutup kemungkinan apabila bekas-bekas kanal di situs Trowulan dahulunya juga difungsikan sebagai sarana irigasi. (Setyawan dkk, 2008:48)

RUJUKAN
Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa, Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu
Riyanto, Sugeng. 2011. Situs Kota Majapahit dalam Gambar. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Setyawan, Rudi F, dkk. 2008. Analisis Situs Kerajaan Majapahit dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Digital Elevation Model. Bandung: PIT MAPIN XVII

Monday, April 7, 2014

Author : SUBANDI RIANTO
Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan
spasial [1]. Jika kalangan sejarawan Barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih.[2] Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengantegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M [3].
Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China [4].
Jika ada beragam banyak daerah yang memulai islamisasi atas kepulauan nusantara. Maka
dapat disimpulkan bahwa proses islamisasi pasti diikuti oleh difusi kebudayaan. Dimana difusi tersebut melibatkan migrasi beragam etnis benua lain untuk masuk ke nusantara. Proses tersebut akhirnya membuat nusantara menjadi penuh oleh keanekaragaman etnis. Prof. Sartono Kartodirjo menuliskan bahwa jaringan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad 14 telah dipenuhi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina dll. Mereka membuat pemukiman disepanjang kantong-kantong perdagangan Semenanjung Malaya. Bercampur baur dengan penduduk asli dan mengalami akulturasi kebudayaan [5]. Setelah etnis muslim India mewarnai nusantara lewat jalur Selat Malaka. Kemudian etnis Cina juga mewarnai kemajemukan masyarakat nusantara melalui migrasi besar-besaran. Tesis terakhir diperkuat pendapat bahwa serangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 memberikan efek besar bagi etnis muslim Cina (Hui)[6] di Kedah. Kedah saat itu merupakan kota satelit muslim Cina dalam pelariannya dari negara asal. Ketika itu negeri Cina dilanda sebuah pemberontakan melawan kaisar. Kaisar sangat marah dan menuduh etnis Hui sebagai pelakunya. Untuk menghindari tekanan politik kaisar Cina. Etnis Hui bermigrasi ke Kedah. Akibat serangan Portugis pada 1511 membuat mereka berdiaspora ke seluruh kepulauan nusantara.
Sebuah pengantar diatas sengaja saya tampilkan untuk pembuka sebuah analisis terjadinya fenomena heterogenisasi etnis-etnis muslim di kepulauan nusantara. Periodisasi pisau analisis akan tetap
mengikuti pembabakan yang ditulis Prof. Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, yang menulis diawali dari runtuhnya kerajaan Hindu-Budha, terbentuknya jaringan
kota-kota Islam yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Serta ditutup dengan
kedatangan bangsa kolonial atas kepulauan nusantara. Fokus utama pisau analisis terletak dari komposisi kependudukan etnis muslim yang secara spasial masih dalam satu kota. Praktis studi demografi kali ini akan banyak menyinggung tentang kota juga sebagai sebuah ruang heterogenisasi etnis muslim. Sartono mengawali tentang pola perdagangan Asia Tenggara yang denyut nadinya membesar di Semenanjung Malaya. Awal abad 13 terbentuk banyak pemukiman di sekitar pantai timur Sumatera. Bertepatan dengan gelombang besar Islamisasi atas kepulauan nusantara, banyak pedagang muslim beragam etnis mulai mendirikan pusat-pusat perdagangan. Malaka, Aceh hingga Palembang menjadi contoh yang baik akan pemukiman Muslim. Naguib Alatas bahkan menyakini di Kanton-Cina pada periode yang sama telah berdiri pemukiman pedagang muslim dari berbagai etnis. Bukti terkuat jaringan perdagangan tersebut (relasi perdagangan arab dan nusantara) adalah surat-menyurat antara kekhalifahan Umar dengan Maharaja Sriwijaya. Serta kunjungan Sahabat Nabi Muhammad SAW, Saad bin Abi Waqqash yang mendirikan masjid Canton di Cina. Relasi perdagangan antara nusantara dan arab membuat diaspora masyarakat arab masuk ke nusantara.
Pusat-pusat perkampungan Arab dapat ditemui di jalur strategis yaitu Jayakarta (sekarang Kampung
Melayu) hingga Ampel-Denta (Gresik-Surabaya). Bahkan, setelah jatuhnya Malaka kepada Portugis.
Hubungan dagang tersebut tetap dilakukan dan berpindah ke Banten.

[1] Riklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, 2000). Hal 1.
[2] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta, 2009) KPG.
[3] Radinal Mukhtar Harahap, Peaceful Jihad for Teens (Jakarta, 2011) Gramedia, Hal 70.
[4] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta, 2007) LKis.
[5] Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium ke Imperium (Jakarta, 1999) Gramedia hal 4.
[6] Etnis Cina yang memeluk muslim disebut Hui