Perahu Jung Jawa

Perahu Jung adalah salah satu bukti kebesaran nenek moyang bangsa Indonesia yang mencengangkan orang-orang Eropa, Arab, dan Cina.

Candi Sambisari

Candi Sambisari adalah candi di Jawa Tengah yang didesain menurut filosofi Wanua Jambudwipa, yang akan menampung air ketika musim hujan sehingga terlihat seperti sebuah benua ditengah samudera.

Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit adalah kerajaan terbesar di Nusantara pada Zaman Kuno. Wilayahnya meliputi hampir seluruh kepulauan di Asia Tenggara dan Daratan Asia.

Perahu Dagang Bercadik

Hubungan dengan dunia internasional pada Zaman Kuno salah satunya difasilitasi oleh perahu dagang.

Saturday, April 12, 2014


Oleh: Wahyu Ilman Patria


     Situs masa Kerajaan Majapahit -yang oleh sebagian besar Arkeolog dipercaya sebagai bekas ibukota- adalah Trowulan yang sekarang terletak di wilayah Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur. Penelitian yang pertama kali terhadap situs ini dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Gubernur Raffles pada 1815 untuk mengamati tinggalan arkeologi di daerah Mojokerto. Dalam laporannya, Wardenaar selalu menyebutkan, “in het bosch van Majapahit...” untuk tinggalan budaya yang ditemukan di Mojokerto, khususnya Trowulan. Ada tiga sumber yang dapat memberikan keterangan mengenai ibukota ini, yaitu data arkeologi, sumber berita Cina, dan kitab Nāgarakrtāgama. (Rahardjo, 2011:132).


       Banyak usaha telah dilakukan untuk mendapatkan gambaran seperti apa sebenarnya bentuk dan isi ibukota Kerajaan Majapahit. Situs Trowulan benar-benar berada dalam “kepungan” peneliti. Diantara peneliti-peneliti tersebut muncul nama-nama seperti Henry Maclain Pont (1926) yang berhasil membuat denah ibukota Kerajaan Majapahit, dan T.G.Th Pigeaud (1962) yang melakukan penelitian di Trowulan berdasarkan naskah Nāgarakrtāgama yang berhasil diterjemahkannya. Berbagai kegiatan penelitian arkeologi di Trowulan terus dilakukan, baik secara perorangan maupun secara institusional. (Riyanto, 2011)
       Hasil penelitian arkeologi di situs Trowulan menghasilkan temuan-temuan penting yang dapat dikategorikan kedalam tabel berikut (Miksic, 1996 dalam Rahardjo, 2011:132):

No.
Temuan
1.
Pintu Gerbang
·         Tanpa atap: Gapura Wringin Lawang.
·         Dengan atap: Gapura Bajang Ratu.
2.
Bangunan Keairan
·         Kolam: Segaran, Balong Bunder, Balong Dowo
·         Kanal-kanal.
3.
Bangunan Keagamaan
·         Candi tanpa banguan air: Candi Gentong, Brahu, Minak Jingga, Sitinggil.
·         Candi dengan banguan air: Candi Tikus, Situs Pakis.
4.
Bangunan Pemukiman
·         Perkiraan Istana: Situs Kedaton.
·         Perumahan biasa: Rumah lantai segi delapan (Situs Sentonorejo).
·         Hunian Padat: sekitar situs Segaran, situs Nglinguk.
·         Bangunan umum (?): Situs Umpak.
·         Pusat Kerajinan: Emas (situs Kemasan), perunggu (situs Pakis).
5.
Bangunan Makam
·         Tralaya (Makam Islam)
·         Makam Puteri Cempa
  Tabel 1.1: Temuan-temuan penting di Situs Trowulan tahun 1996
                                                Sumber: John N. Micsic
       Selain informasi penelitian dalam tabel diatas, juga didapat informasi dari survei pada tahun 1991 dan 1992. Berdasarkan survei tersebut dapat dikemukakan gambaran awal bahwa luas seluruh situs ialah 99 kilometer persegi, dengan orientasi utara-selatan sepanjang 11 kilometer, dan timur-barat sepanjang 9,9 kilometer. Selain itu survei tersebut menghasilkan data berupa pola pemukiman yang menunjukkan bentuk yang tidak rapat, melainkan merupakan pemusatan sejumlah pemukiman yang satu sama lain dipisahkan oleh pekarangan-pekarangan (Miksic, 1992, dalam Rahardjo, 2011:132)     
       Pada tahun 2008 diadakan penelitian terhadap situs arkeologi Trowulan oleh Setyawan (2008), Mahasiswa Teknik Geomatika ITS bekerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Digital Elevation Model (DEM). Sistem Informasi Geografis memudahkan dalam mengakses, menyimpan, melakukan editing dan updating data mengenai situs-situs Kerajaan Majapahit. Dari DEM yang dihasilkan, dapat diketahui bahwa sebagian besar situs-situs Majapahit di Trowulan berada pada daerah yang relatif datar, yaitu dengan ketinggian antara 25 sampai 65 meter, kecuali situs Tugu Umpak Jabung. Pada daerah Tugu Umpak Jabung ketinnggiannya mencapai 184 meter. Hal ini dapat dilihat dari DEM pada situs Tugu Umpak Jabung yang memiliki topografi berbukit. (Setyawan dkk, 2008:37)
       Melalui pengamatan foto udara inframerah, ternyata di Situs Trowulan dan sekitarnya terlihat adanya jalur-jalur yang berpotongan tegak lurus dengan orientasi utara-selatan dan timur-barat. Jalur-jalur yang membujur timur-barat terdiri atas 8 jalur, sedangkan jalur-jalur yang melintang utara-selatan terdiri atas 6 jalur. Selain jalur-jalur yang bersilangan tegak lurus, ditemukan pula dua jalur yang agak menyerong. Berdasarkan uji lapangan pada jalur-jalur dari foto udara, ternyata jalur-jalur tersebut adalah kanal-kanal dan sebagian masih ditemukan tembok penguat tepi kanal dari susunan bata.
Gambar 1.1: Peta Situs Trowulan

       Lebar kanal-kanal itu berkisar antara 35 hingga 45 meter. Kanal yang terpendek panjangnya 146 meter, yaitu jalur yang melintang utara-selatan yang terletak di daerah Pesantren, sedangkan kanal yang terpanjang adalah kanal yang berhulu di sebelah timur di daerah Candi Tikus dan berakhir di Kali Gunting (di Dukuh Pandean) di daerah baratnya. Kanal ini panjangnya sekitar 5 kilometer. Hal yang menarik, sebagian besar situs-situs di Trowulan dikelilingi oleh kanal-kanal yang saling berpotongan, membentuk sebuah denah segi empat yang luas, dibagi lagi oleh beberapa bidang segi empat yang lebih kecil.
      Situs Trowulan berada pada ujung kipas alluvio vulkanic Jatirejo (tanah alluvial yang terbentuk akibat terbawa oleh aliran sungai yang berasal di puncak gunung) yang materi komposisinya berupa batu, pasir, dan tanah yang berasal dari Gunung Welirang dan Anjasmoro. Tanah ini bersifat subur tetapi di musim kering mengalami kekurangan air. Hal ini disebabkan oleh tanah yang tidak biasa menyimpan air hujan. Berdasarkan data tersebut, tidak menutup kemungkinan apabila bekas-bekas kanal di situs Trowulan dahulunya juga difungsikan sebagai sarana irigasi. (Setyawan dkk, 2008:48)

RUJUKAN
Rahardjo, Supratikno. 2011. Peradaban Jawa, Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu
Riyanto, Sugeng. 2011. Situs Kota Majapahit dalam Gambar. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta
Setyawan, Rudi F, dkk. 2008. Analisis Situs Kerajaan Majapahit dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Digital Elevation Model. Bandung: PIT MAPIN XVII

Monday, April 7, 2014

Author : SUBANDI RIANTO
Periodisasi masuknya Islam ke kepulauan nusantara hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan sejarawan. Prof. Riklefs bahkan menggarisbawahi bahwa masa-masa tersebut merupakan wilayah dalam sejarah Indonesia. Sepotong puzzle sejarah yang tidak jelas secara waktu dan
spasial [1]. Jika kalangan sejarawan Barat seperti Hurgronje berpendapat pada abad 13 M dengan patokan utama pada nisan Sultan Malik As-Salih.[2] Maka, Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara membantah dengantegas. Beliau lebih menyetujui pendapat T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam yang menulis bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 M [3].
Perdebatan demi perdebatan tidak sebatas pada apa yang disebut dengan waktu kedatangan Islam di nusantara. Tetapi juga melebar pada asal muasal Islam datang. Ada beragam teori yang menjelaskan darimana Islam nusantara berasal. Salah satunya Prof. Slamet Muljana yang mencetuskan teori bahwa Islam berasal dari muslim-muslim China. Tesis Prof. Slamet Muljana kebanyakan berlandaskan ada arsip-arsip di Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Hingga tesis tersebut berkesimpulan bahwa ada beberapa walisongo yang keturunan dari China [4].
Jika ada beragam banyak daerah yang memulai islamisasi atas kepulauan nusantara. Maka
dapat disimpulkan bahwa proses islamisasi pasti diikuti oleh difusi kebudayaan. Dimana difusi tersebut melibatkan migrasi beragam etnis benua lain untuk masuk ke nusantara. Proses tersebut akhirnya membuat nusantara menjadi penuh oleh keanekaragaman etnis. Prof. Sartono Kartodirjo menuliskan bahwa jaringan perdagangan di Asia Tenggara sejak abad 14 telah dipenuhi para pedagang dari Arab, Gujarat, Cina dll. Mereka membuat pemukiman disepanjang kantong-kantong perdagangan Semenanjung Malaya. Bercampur baur dengan penduduk asli dan mengalami akulturasi kebudayaan [5]. Setelah etnis muslim India mewarnai nusantara lewat jalur Selat Malaka. Kemudian etnis Cina juga mewarnai kemajemukan masyarakat nusantara melalui migrasi besar-besaran. Tesis terakhir diperkuat pendapat bahwa serangan Portugis ke Malaka pada tahun 1511 memberikan efek besar bagi etnis muslim Cina (Hui)[6] di Kedah. Kedah saat itu merupakan kota satelit muslim Cina dalam pelariannya dari negara asal. Ketika itu negeri Cina dilanda sebuah pemberontakan melawan kaisar. Kaisar sangat marah dan menuduh etnis Hui sebagai pelakunya. Untuk menghindari tekanan politik kaisar Cina. Etnis Hui bermigrasi ke Kedah. Akibat serangan Portugis pada 1511 membuat mereka berdiaspora ke seluruh kepulauan nusantara.
Sebuah pengantar diatas sengaja saya tampilkan untuk pembuka sebuah analisis terjadinya fenomena heterogenisasi etnis-etnis muslim di kepulauan nusantara. Periodisasi pisau analisis akan tetap
mengikuti pembabakan yang ditulis Prof. Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, yang menulis diawali dari runtuhnya kerajaan Hindu-Budha, terbentuknya jaringan
kota-kota Islam yang kemudian berkembang menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Serta ditutup dengan
kedatangan bangsa kolonial atas kepulauan nusantara. Fokus utama pisau analisis terletak dari komposisi kependudukan etnis muslim yang secara spasial masih dalam satu kota. Praktis studi demografi kali ini akan banyak menyinggung tentang kota juga sebagai sebuah ruang heterogenisasi etnis muslim. Sartono mengawali tentang pola perdagangan Asia Tenggara yang denyut nadinya membesar di Semenanjung Malaya. Awal abad 13 terbentuk banyak pemukiman di sekitar pantai timur Sumatera. Bertepatan dengan gelombang besar Islamisasi atas kepulauan nusantara, banyak pedagang muslim beragam etnis mulai mendirikan pusat-pusat perdagangan. Malaka, Aceh hingga Palembang menjadi contoh yang baik akan pemukiman Muslim. Naguib Alatas bahkan menyakini di Kanton-Cina pada periode yang sama telah berdiri pemukiman pedagang muslim dari berbagai etnis. Bukti terkuat jaringan perdagangan tersebut (relasi perdagangan arab dan nusantara) adalah surat-menyurat antara kekhalifahan Umar dengan Maharaja Sriwijaya. Serta kunjungan Sahabat Nabi Muhammad SAW, Saad bin Abi Waqqash yang mendirikan masjid Canton di Cina. Relasi perdagangan antara nusantara dan arab membuat diaspora masyarakat arab masuk ke nusantara.
Pusat-pusat perkampungan Arab dapat ditemui di jalur strategis yaitu Jayakarta (sekarang Kampung
Melayu) hingga Ampel-Denta (Gresik-Surabaya). Bahkan, setelah jatuhnya Malaka kepada Portugis.
Hubungan dagang tersebut tetap dilakukan dan berpindah ke Banten.

[1] Riklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta, 2000). Hal 1.
[2] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta, 2009) KPG.
[3] Radinal Mukhtar Harahap, Peaceful Jihad for Teens (Jakarta, 2011) Gramedia, Hal 70.
[4] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, (Yogyakarta, 2007) LKis.
[5] Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: dari Emporium ke Imperium (Jakarta, 1999) Gramedia hal 4.
[6] Etnis Cina yang memeluk muslim disebut Hui

Thursday, January 10, 2013



(WIP). Australia merdeka pada tanggal 1 Januari 1901 dan sejak saat itu menjadi bagian dari persemakmuran Inggris. Sebelumnya, sejak penemuannya oleh James Cook pada tahu 1770-1771, benua Australia diklaim sebagai koloni kerajaan Inggris. Walaupun benua selatan itu sangat jauh dari Eropa dan belum terlihat adanya sumber daya alam yang mendukung disana, Inggris tetap bersikukuh menjadikan australia sebagai koloni. Oleh karena itu, mulai Januari 1788 pemerintah Inggris menjadikan benua Australia sebagai tempat pengasingan bagi narapidana kelas berat.[1]
Pada kenyataannya, tidak hanya para narapidana yang dikirim ke Australia. Para penduduk Inggris yang menginginkan kepemilikan tanah baru (membuka tanah) banyak berdatangan ke Australia. Tercatat pada tanggal 18 Januari 1788 kapal dari Inggris yang membawa sekitar 1016 awak telah mendarat dengan selamat di Australia. Sebanyak 717 diantaranya ialah narapidana dan sisanya merupakan imigran.[2] Akibatnya dalam beberapa tahun populasi penduduk imigran dari Inggris meningkat di Australia.
Adanya dua golongan orang eropa yang datang ke Australia justru memunculkan masalah yang berhubungan dengan diskriminasi. Dua golongan tersebut ialah golongan Narapidana yang sengaja diasingkan di Australia, dan golongan Aristokrat yang dengan kehendak sendiri datang ke Australia. Kebanyakan dari golongan Aristokrat ini memiliki tujuan kepemilikan tanah yang luas di Australia. Peningkatan jumlah imigran yang datang ke Australia lebih banyak terjadi ketika tersebarnya berita mengenai penemuan emas di beberapa wilayah di Australia. Berita tersebut telah menyebar bahkan hingga Norwegia dan Cina pada tahun 1851.[3] Namun mengenai penemuan emas itu sendiri telah dimulai sejak tahun 1839 walaupun masih dalam bentuk penemuan-penemuan kecil secara individual dan bukan secara massal.

Penemuan Emas Pertama
            Pada tahun 1839, Paul Strezelecki, dalam ekspedisi penjelajahannya dari Sydney menuju Victoria dengan melintasi pegunungan di selatan-timur yang ia sebut Gippsland, menemukan partikel mengkilap diantara ironstone yang terdekomposisi. Penemuannya ini dilaporkan kepada Sir Roderick Murchison. Ketika Murchison memeriksa penemuan Strzelecki, ia yakin bahwa partikel batuan tersebut adalah emas. Kemudian ia menulis surat yang berisi laporan penemuan emas kepada Sekretaris Negara untuk koloni, Lord Grey. Tetapi Murchison tidak pernah mendapat balasan. Di beberapa titik di New South Wales juga pernah dilaporkan adanya penemuan sejumlah kecil emas.
Seorang geolog dari Sydney yang bernama W.B. Clarke, menemukan sejumlah besar emas di lingkungan Bathurst. Selanjutnya ia segera melaporkannya kepada Sir George Gipps, namun tidak dianggap sebagai penemuan yang berarti. Sebenarnya Gipps mengkhawatirkan akan terjadi kerusuhan apabila para narapidana mengetahui penemuan tersebut. Ketika, pada tahun 1848, sepotong emas ditemukan lagi di dekat Berrima ditunjukkan kepada Pemerintah di Sydney. Pemerintah Sydney masih menutup mata dan telinganya. Namun penemuan-penemuan logam mulia terus berlanjut. Tidak hanya di New South Wales, tetapi penemuan juga ada di Victoria. Pada tahun 1847 seorang penggembala di Port Philip menemukan emas dibawah akar pohon yang tumbang karena angin topan. Dalam dua tahun berikutnya toko emas Melbourne membeli beberapa spesimen yang ditemukan penduduk karena dianggap identik dengan emas. Pada tahun 1849 seorang gembala bernama Champan, menemukan dua puluh empat ons emas murni. Keberuntungan itu membuatnya semakin kaya secara mendadak. Peristiwa-peristiwa penemuan tersebut menjadi begitu sering terjadi sehingga akhirnya membuat orang-orang merasa bahwa seakan-akan mereka berpijak di atas sebuah pulau emas.[4]
Pencarian emas yang dijalankan secara sistematis dilakukan oleh Edward Hargreaves pada tahun 1850. Sebelumnya, pada 1849, ia berada di California, Amerika Serikat, untuk mencari emas yang dikabarkan banyak ditemukan disana. Nampaknya Edward Hargreaves merupakan seorang yang gila emas. Ketika ia mendengar banyak penemuan emas di Australia, dengan terkejut ia bergegas kembali ke Australia dan mulai mencari. Pada tanggal 18 Mei 1851, Lands Commissioner dari Bathurst menulis laporan ke Pemerintah di Sydney bahwa Hargreaves telah mempekerjakan orang untuk menggali emas di Summerhill Creek, dan mereka telah menemukan beberapa ons.  Lands Commissioner juga menulis dalam laporan tersebut bahwa beberapa langkah-langkah ketat harus diterapkan untuk mencegah para narapidana meninggalkan pekerjaan mereka untuk ikut mencari emas. Namun Hargreaves telah berkomunikasi dengan Gubernur Fitzroy dan telah dijanjikan imbalan apabila dia menunjukkan dimana tambang-tambang emas tersebut berada. Hargreaves pada akhirnya menerima hibah sebesar 10.000 dollar, dan telah disampaikan kepada Ratu Victoria sebagai penemu emas yang pertama di Australia. Namun pada kenyataannya laporan Clarke yang pertama kali sebelum Hargreaves [5]. Sejak tersebarnya berita ini, demam emas Australia mulai terasa.
Pada tahun 1852, diberitakan bahwa Edward Hargreaves telah menghasilkan penemuan sebanyak 850.000 ons emas di New South Wales.[6] Berita ini menyebar ke Victoria dan mengakibatkan penduduk disana berbondong-bondong menuju New South Wales. Victoria telah mengalami depresi komersial. Karena penduduk mulai menjauh dari wilayah itu, kemakmuran Victoria mulai memudar. Pihak Pemerintah Victoria ingin mencegah penduduk untuk bergabung ke dalam hiruk-pikuk demam emas di New South Wales akhirnya mengeluarkan penawaran hadiah sebesar £ 200 untuk setiap emas yang ditemukan dalam 200 mil dari Melbourne. Beberapa penduduk yang tertarik terhadap penawaran tersebut mencoba melakukan penambangan di Ranges Plenty, dekat Melbourne, dan akhirnya emas pun ditemukan disana. Pada bulan Agustus tahun 1851 diungkapkan oleh Thomas Hiiscook, dan diungkapkan juga pada bulan November oleh Henry Francis di Golden Gully, Bendigo, bahwa sebanyak 249.000 ons emas telah ditemukan di wilayah Victoria, senilai hampir  £90.000 [7].
Ternyata jumlah emas yang ditemukan di Victoria semakin banyak, melebihi jumlah yang ditemukan di New South Wales. Tambang-tambang emas di Victoria yang ditemukan sekitar tahun 1852 antara lain, tambang emas Clunes ditemukan tanggal 8 Juli, Buninyong tanggal 9 Agustus, Anderson Creek pada tanggal 11 Agustus, Ballarat tanggal 8 septembaer, Mount Alexander pada tanggal 10 September sera broken River ditemukan pada tanggal 29 September[8]. Pada akhir tahun 1852 kekayaan yang dimiliki Victoria jauh lebih besar dari New South Wales. Hal ini diperkuat oleh keterangan Robert Coupe dalam bukunya, Ausralia’s Gold Rushes (2000:144) :
"When the first reports of gold in the colonies were published in English newspapers late in 1851, few took much notice. Many dismissed them as either false or greatly exaggerated. But as the reports persisted, and especially those of fabulous finds at Mount Alexander, interest increased. It reached fever pitch when, in the middle of 1852, six ships from Victoria arrived, bringing eight tonnes of gold. The Australian colonies were the talk of London and of many other towns, as thousands hurried to get passages on southward-bound ships."
Kedua koloni tersebut bersama-sama menyaingi California sebagai daerah penghasil emas yang paling produktif di dunia.  Ketika berita-berita penemuan emas di Australia sampai di Inggris, terjadi suatu perubahan pandangan di kalangan kerajaan. Pandangan-pandangan umum terhadap Australia sebagai tempat pembuangan telah berubah dengan suatu pandangan sebagai tanah anugrah.[9]

Gold Rush Semakin Meluas
Di Australia, emas banyak ditemukan di pasir-pasir di sepanjang Creek (sungai yang mengalir hanya pada musim hujan, semacam wadi di jazirah Arab). Emas juga banyak terdapat dalam lapisan tanah liat putih yang terletak beberapa kaki di bawah permukaan tanah. Kadang-kadang emas juga ditemukan di bawah akar rerumputan, sering pula berupa butiran berwarna kuning yang terdapat di pasir-pasir di tepi jalan. Tidak dapat dibayangkan betapa banyaknya emas yang seolah-olah berhamburan di berbagai tempat. Australia yang dianggap memiliki tanah yang gersang seperti itu ternyata memiliki kandungan emas yang luar biasa banyaknya.[10]
Telah banyak berita tentang penemuan emas di Australia yang tersebar di seluruh dunia. Melalui berita-berita itu tercipta kesan bahwa kekayaan yang tak habis-habisnya berada di Australia yang menunggu untuk dijemput. Namun seharusnya berita-berita yang tersebar di berbagai negara itu tidak terlalu melebih-lebihkan fakta yang ada. Dari Norwegia hingga ke desa-desa di Cina bertebaran kabar tentang emas Australia. Dari Canton dan Belgravia orang-orang datang sebagai digger. Ribuan orang Cina masuk kedalam kapal seperti ternak berlayar ke selatan. Bathurst, Bendigo, dan Ballart tiba-tiba menjadi wilayah yang sangat padat didatangi manusia dari penjuru bumi. Mereka memiliki satu tujuan yaitu berharap untuk menjadi sangat kaya melalui pencarian emas. Sebelum demam emas terjadi, telah ada sebanyak 1855 penduduk di Victoria. Setelah demam emas melanda, jumlah penduduk disana bertambah dalam waktu singkat.
Daerah-daerah pertambangan emas yang ada di Australia yang menjadi pusat perhatian orang banyak ialah di Victoria yang memiliki banyak tambang emas. Banyak kapal meninggalkan Adelaide dan Launceston penuh dengan orang-orang Australia Selatan dan Van Diemen’s Land (Tasmania) yang akan mengadu untung di daerah tambang-tambang emas di Ballarat dan Bendigo. Hampir semua laki-laki penduduk kota pantai berbondong-bondong di sepanjang jalan pergi ke tambang-tambang emas. Di pertambangan, hukum dan peraturan merupakan hal yang begitu dibutuhkan untuk mengatur masyarakat di daerah tambang. Di pertambangan setiap orang sibuk mencari kekayaan di dalam kegaduhan dan kelelahan. Masalah pencurian merupakan suatu hal yang umum terjadi di pertambangan. Terbukti bahwa kehidupan di daerah tambang-tambang emas diwarnai dengan orang-orang yang cenderung menjadi manusia pemburu harta.[11]
Pemerintah mengklaim bahwa emas yang tersimpan di tanah Ausralia adalah milik Negara, tetapi Negara memberi izin untuk para digger. Oleh karena itu, para digger diwajibkan membayar pajak. Di New South Wales biaya ditetapkan pada Mei 1851 adalah 30 sen tiap bulan, dan di Victoria harga yang sama ditetapkan pada bulan Agustus. Izin yang dikeluarkan, di New South Wales sebanyak 12186, di mana sebanyak 2094 dikeluarkan di Ophir, 8637 di Turon, 1009 di Meroo dan Louisa Creek, 41 di Abercrombie, dan 405 di Araluen.[12]
Gold-fields Commissioners ditunjuk untuk menerbitkan izin dan mencegah aktivitas digger yang tidak membayar biaya. Pada tahun 1852 Pemerintah Kolonial diberitahu bahwa pendapatan dari pajak ini akan digunakan untuk membiayai anggaran administrasi lokal. Hal itu dikarenakan  kegiatan penambangan banyak pengeluaran tambahan. Jalan-jalan harus diperbaiki, pelabuhan diperbanyak, petugas pemantau juga harus ditambah, termasuk personil polisi. Bukankah seharusnya ini harus dibayar dari hasil tambang? Para penghuni dan penambang liar pasti berpikir begitu.[13]
Pada penerapan sistem pajak dan lisensi, bagaimanapun juga terdapat golongan tertentu dari para digger yang tidak menyetujuinya. Menurut mereka pajak sebesar 30 sen tipa bulan tidak sanggup mereka bayar walaupun dengan bekerja keras. Selain itu, akibat aksi penambangan massal, persediaan emas semakin sedikit, mengakibatkan hasil yang didapat juga ikut menurun. Kontradiksi ini semakin meruncing di pertambangan Turon. Para digger tidak mau lagi membayar pajak tambang, dan terjadilah bentrokan. Namun jumlah mereka sedikit, tidak sebanyak para digger di Ballart ataupun Bendigo. Para digger itu mudah ditangani dan masalah dapat cepat diselesaikan.[14]
Berbeda dengan kasus di tambang-tambang Victoria yang letaknya saling berdekatan. Tambang-tambang itu seperti Bendigo, Castlemania, Creswick, Ballarat, dan Maryborough, memiliki komunikasi yang baik antar penambang. Kasus mereka dipicu oleh sikap Polisi pemungut pajak yang menurut para penambang itu sangat angkuh dan sewenang-wenang. Oleh sebab itu mereka enggan untuk membayar pajak. Mereka selalu menghindari kedatangan Polisi dengan cara bersembunyi, sehingga sulit untuk mengumpulkan uang pajak dari mereka. Di sisi lain, Pemerintah Victoria sangat membutuhkan uang dari hasil pajak penambang itu, Polisi ditekan untuk lebih keras menindak para penambang. Akhirnya Polisi mulai berani melakukan tindakan kasar, yang berujung pada kemarahan para digger. Ketegangan antara keduanya tidak dapat terelakkan lagi. Dan kali ini masalah tidak mudah diatasi, karena semua penambang di Victoria bersatu berkat kedekatan wilayah tambang.[15]
Sebenarnya kebijakan sistem lisensi ini tidak adil. Seharusnya besarnya pajak disesuaikan dengan pendapatan tambang. Latrobe mengusulkan bahwa seharusnya besarnya uang pajak hanya sebesar 8 sen dan angka 30 sen adalah angka yang besar pada saat itu. Namun usulannya tersebut ditolak pada rapat Dewan Legislatif. Polisi pemungut pajak masih menjalankan tugasnya. Sementara para penambang yang tidak mau menaati kebijakan Pemerintah itu hidup sebagai buronan dalam ketakutan dan kecamasan, namun juga dengan perasaan benci yang semakin memuncak kepada Pemerintah. Pada akhirnya mereka berusaha melakukan perubahan menurut cara mereka sendiri.

Eureka Stockade
Perasaan benci yang terkumpul dalam benak para penambang terwujud menjadi bentuk kerusuhan dan pemberontakan terbuka. Di Ballarat pada bulan Oktober, November, dan Desember tahun 1854, peristiwa kerusuhan memuncak dalam peristiwa Eureka Stockade. Pada bulan Oktober, massa telah membakar sebuah bar yang dikenal sebagai Hotel Eureka, seorang narapidana dari Van Diemen’s Land bernama Bentley. Seorang digger telah terbunuh dalam perkelahian di pintu hotel, dan Bentley diyakini telah melakukan kejahatan tersebut. Tapi dia merupakan teman dari hakim, sehingga dibebaskan. Para digger, dengan kekuatan hampir 10.000 orang, melakukan kerusuhan memprotes pembebasan itu. Semua personil polisi berusaha membubarkannya. Para digger menjadi sangat marah dan Polisi tidak sanggup menghentikan mereka karena jumlah yang banyak. Kembali mereka menuju hotel dan meratakannya dengan tanah. Selanjutnya kasus Bentley diselidiki lagi dan ia dinyatakan bersalah. Sementara hakim yang dahulu membebaskannya dipecat dari jabatannya.[16]
Pemerintah dalam menanggapi peristiwa Eureka Stockade, berusaha untuk mencegah kejadian serupa dapat terulang lagi. Untuk itu dibentuk suatu asosiasi yang disebut The Ballarat Reform League, yang bertujuan menyelidiki penyebab para penambang bermasalah dengan biaya pajak lisensi, dan sikap para Polisi yang sewenang-wenang. Selanjutnya diputuskan untuk menentukan seorang wakil mereka di Parlemen dengan mengadakan pemilihan umum. Selain itu akan diadakan perundingan antara wakil dari pihak penambang dengan wakil dari Pemerintah. Pada intinya asosiasi tersebut berusaha menyesuaikan kebijakan Pemerintah dengan keadaan lokal.[17]

Penutup
Australia yang pada awalnya dijadikan sebagai pulau buangan untuk narapidana Inggris ternyata mengandung emas yang melimpah. Maka semakin berdatangan para imigran yang ingin mendapat kekayaan disana, dan muncullah istilah Australian Gold Rushes (Demam Emas Australia). Namun semakin banyak orang yang berkumpul, semakin kompleks pula masalah yang muncul. Maka Pemerintah Kolonial memberlakukan beberapa kebijakan yang berhubungan dengan penambangan emas berupa pengadaan lisensi tambang dan pembayaran pajak tambang. Banyak kontra dari para penambang mengenai kebijakan-kebijakan tersebut yang didasari banyak faktor. Pertentangan antara golongan penambang dengan Pemerintah akhirnya memuncak dan terjadi insiden yang dikenal sebagai Eureka Stockade atau Eureka Rebellion. Dalam insiden tersebut terdapat korban jiwa dan kerusuhan massal. Kemudian Pemerintah membentuk asosiasi yang dinamai The Ballarat Reform League untuk menyelesaikan masalah tersebut, dan dicapailah suatu kemufakatan.


DAFTAR RUJUKAN

Coupe, Robert. 2000. Australia’s Gold Rushes. Chatswood: New Holland Publishers Pty
Ginn, Silver Burdett. 1995. World Geography Vol.6, Australia & Oceania. Chicago: Silver Burdett Inc.
Heaton, J.H. 1984. The Bedside Book of Colonial Doings. Sydney: Angus and Robertson Publishers
Maryone, Bernard. 1977. A History of Australia. Sydney: Angus and Robertson Publishers
Scott, Ernest. 1953. A Short History of Australia. Sydney: Oxford University Press
http://en.wikipedia.org/wiki/Eureka_Stockade  (online) diakses pada tanggal 24 November 2012
http://australia.gov.au/about-australia/australian-story/austn-gold-rush (online) diakses pada tanggal 27 November 2012


[1] Ginn, (1995:649)
[2] Rombongan tersebut bertolak dari Inggris pada 13 Mei 1787 dengan sembilan buah kapal yang membawa seluruh narapidana dari sebelas penjara di Inggris. Kedatangan para imigran ini merupakan pendorong berkembangnya koloni Australia. (Scott, 1953:45)
[3] Scott, 1953:218.
[4] Scott, 1953:219.
[5] Scott, 1953:219.
[8] Maryone, 1977:79.
[9] Maryone, 1977:84.
[10] Scott, 1953:220.
[11] Maryone, 1977:86.
[12] Heaton, 1984:114
[13] Scott, 1953:221
[14] Scott, 1953:223
[15] Maryone, 1977:89
[16] Scott, 1953:224
[17] Scott, 1953:224