Tuesday, May 8, 2012



PARA PELAYAR JAWA


Gambar 1.1: Jung Jawa (Reid, 1997)

"Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa yang dahulu berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan Madagaskar, dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli Madagaskar yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa."

Demikian tertulis dalam buku Da Asia (1645) yang merupakan catatan perjalanan Diego de Couto mengarungi benua Asia. Bahkan, pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. "Mereka mengaku keturunan Jawa," kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.

Ketika pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.

Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik - belakangan disebut sebagai "Kapal Borobudur".

KONSTRUKSI KAPAL JUNG
Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Gambar 1.2: Sketsa konstruksi Jung
Mengutip dari Jung Jawa: Kumpulan Cerpen oleh Rendra Fatrisna Kurniawan yang diterbitkan Babel Publishing, dituliskan dalam kata pengantar buku terbitan tahun 2009 tersebut bahwa Jung Jawa yang pertama kali digambarkan oleh Portugis adalah sebuah kapal yang mereka tawan pada tahun 1511. Orang-orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal jung-jung raksasa tersebut. “Dari Kerajaan Jawa datang kapal-kapal Junco raksasa ke kota Malaka. Bentuknya amat berbeda dibandingkan dengan kapal-kapal kita, terbuat dari kayu yang sangat tebal, sehingga apabila kayu ini menua maka papan-papan baru dapat dilapiskan kembali di atasnya.” 

KAPAL BOROBUDUR


Gambar 1.3: Relief Kapal Borobudur

Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun sebelum abad ke-13. Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis menyebut juncos, pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta[1] yang berlayar ke Nusantara, awal abad ke-14 mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.

Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.

Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisak dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.

Gambar 1.4 : Perbandingan Kapal Harta Cheng Ho (dibuat di Semarang) dengan Kapal Santa Maria milik Columbus, (1492)

"Anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa." tulis pelaut Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515). Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dedengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.


ETIMOLOGI
Banyak pendapat menyebutkan, Istilah jung berasal dari kata chuan dari bahasa Mandarin yang berarti perahu. Hanya saja, perubahan pengucapan dari chuan menjadi jung nampaknya terlalu jauh. Yang lebih mendekati adalah jong dalam bahasa Jawa yang artinya kapal. Kata jong dapat ditemukan dalam sejumlah prasasti Jawa kuno abad ke 9. Undang-undang laut Melayu yang disusun pada abad ke-15 juga menggunakan kata jung untuk menyebut kapal pengangkut barang. Yang jelas berasal dari sebuah bahasa di Tiongkok adalah kata wangkang yang artinya kurang lebih sama dengan jung.

Perkataan "jung" juga boleh diperkatakan berasal dari bahasa Tionghua yang lain, iaitu Teow Chew dan Hokkien yang barasal dari selatan China. Dalam bahasa Teow Chew kapal jung disebut "jung" dan dalam bahasa hokkien disebut sebagai "jun". Teknologi perkapalan China mempunyai sejarah yang lama sejak Han Dinasti pada BC 200 hingga BC 220.

Sedangkan Anthony Reid menyebutkan, istilah Jung dipakai pertama kali dalam catatan-catatan Rahib Odorico, John de Marignolli, dan Ibn Battuta pada abad ke 14. Asal-usul kata “jung” menurut Manguin dalam Anthony Reid adalah dari bahasa Jawa sebagai sebutan kapal, hal ini dapat ditelusuri dalam sebuah prasasti Jawa kuno abad ke 9.


HILANGNYA JUNG JAWA DARI SEJARAH
Jung pada abad ke-15 hingga ke-16 tidak hanya digunakan pada pelaut Jawa. Para pelaut Melayu dan Tionghoa juga menggunakan kapal layar jenis ini. Jung memegang peranan penting dalam perdagangan Asia Tenggara masa lampau. Ia menyatukan jalur perdagangan Asia Tengara yang meliputi Campa (ujung selatan Vietnam), Ayutthaya (Thailand), Aceh, Malaka dan Makassar.

Hanya saja, keadaan itu berbanding terbalik menjelang akhir abad ke-17, ketika perang Jawa tidak bisa lagi membawa hasil bumi dengan jungnya ke pelbagai penjuru dunia. Bahkan, orang Jawa sudah tidak lagi punya galangan kapal. Kantor Maskapai Perdagangan Hindia-Belanda (VOC) di Batavia melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah tidak lagi memiliki kapal-kapal besar.

Dalam buku berjudul Jung Jawa oleh Rendra Fatrisna Kurniawan (2009), disebutkan hilangnya tradisi maritim Jawa tersebut adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat.

Dari berbagai ulasan tersebut para sejarawan menyimpulkan, jung dan tradisi besar maritim Jawa hancur akibat ekspansi militer-perniagaan Belanda. Serta, sikap represif Sultan Agung dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Lebih celaka lagi, raja-raja Mataram pengganti Sultan Agung bersikap anti perniagaan. Apa boleh buat, kejayaan jung Jawa hanya tinggal kenangan.


REFERENSI
Jung
IbnBatutaTravel
Ancient Technology
The Jung Ship

Monday, May 7, 2012

Saat ini candi-candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno telah dikelompokkan kedalam satu area yang disebut Kompleks Candi Prambanan. Kompleks area ini selesai dibangun dan sekaligus diresmikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO World Heritage Committee pada tahun 1991 dengan nomor C.593. Di dalam Kompleks Candi Prambanan terdapat beberapa candi, yaitu:
  • Candi Prambanan atau Loro Jonggrang

Candi Prambanan merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia
yang terletak di sebelah timur Sungai Opak. Kompleks Candi Prambanan
terdiri dari 16 candi di halaman utama dan 224 candi perwara yang
didedikasikan bagi Siva sebagai dewa tertinggi, Brahma, dan Visnu. Candi
Siva yang terletak di bagian tengah halaman memiliki empat buah ruangan
yang berisi arca Siva, Agastya, Ganesha, dan Durga atau yang juga disebut
Loro Jonggrang sesuai legenda. Pada dinding candi juga terdapat hiasan
relief yang menceriakan kisah Ramayana. Selain itu, juga terdapat prasasti
Siwagrha yang memberikan gembaran bahwa candi ini diresmikan pada
tahun 778 Saka (856 M) oleh Raja bernama Rakai Pikatan.
  • Candi Sewu

Percandian Sewu terdiri atas 1 candi induk yang dikelilingi 8 candi apit,
240 candi perwara, dan 4 pasang Dwarapala, serta pagar keliling. Tata
letak ini melambangkan konsep alam semesta dalam kosmologi Buddha.
Dahulu dalam bilik utama candi induk terdapat arca Manjusri terbuat dari
perunggu dan duduk di atas asana. Di sekitar halaman candi ditemukan
Prasasti Manjusrigrha yang menyebutkan adanya penyempurnaan prasada
wajrasana Manjusrigrha pada tahun 714 Saka (792 M), sehingga tentunya
candi ini sudah ada sebelum tahun tersebut.
  • Candi Lumbung

Candi Lumbung merupakan candi Buddha yang terletak di antara Candi
Prambanan dan Candi Sewu. Candi ini dibangun pada akhir abad ke-8 M.
Candi Lumbung yang berlatar belakang agama Buddha ini terdiri dari
sebuah candi utama dan dikelilingi 16 candi perwara. Pada dinding bagian
dalam dan luar candi terdapat elung-relung tempat meletakkan arca. Selain
itu pada dinding candi juga terdapat lebih dari 120 relief dewa dan dewi,
serta relief apsara.
  • Candi Bubrah

Candi Bubrah terletak tidak jauh dari Candi Lumbung. Candi ini berukuran
12 x 12 m dan tinggi 2 m. Candi yang terbuat dari batu andesit ini berlatar
belakang keagamaan Buddha dan dibangun semasa dengan Candi Sewu.
Pada candi ini terdapat beberapa arca Tataghata Amitabha, namun bagian
kepalanya sudah hilang.

Di sekitar kawasan Kompleks Candi Prambanan juga terdapat candi-candi lain
yang menarik, seperti:
  • Candi Plaosan Lor dan Plaosan Kidul

Percandian Plaosan terletak di Kecamatan Prambanan, Klaten. Kompleks
ini terdiri atas dua kelompok yaitu Plaosan Lor dan Plaosan Kidul.
Kelompok Candi Plaosan Lor memiliki dua candi utama yang dikelilingi
tiga deret candi perwara dan stupa, kesemuanya berjumlah 174 buah.
Kedua candi utama Plaosan Lor memiliki dua lantai, lantai atas
kemungkinan terbuat dari kayu. Candi utama ini memiliki tiga ruangan
yang dahulu berisi arca-arca dari pantheon Buddha. Selain itu, berdasarkan
prasasti-prasasti pendek diketahui bahwa candi tersebut dibangun oleh Sri
Kahulunnan Pramodhawardhani sebagai ratu beragama Buddha dibantu
oleh suaminya Rakai Pikatan yang beragama Hindu.
  • Candi Sojiwan

Di arah selatan Candi Plaosan Lor terdapat Candi Sojiwan yang berlatar
belakang agama Buddha. Candi ini dibangun antara tahun 842 dan 850
Masehi, semasa dengan Candi Plaosan. Pada bagian kaki candi terdapat 20
relief yang berisi cerita-cerita Pancatantra atau Jataka dari India.
  • Candi Kalasan

Candi Kalasan terletak 2 km di sebelah barat Candi Prambanan. Candi ini
memiliki ukuran 45 x 45 m dan tinggi 34 m dengan puncak berbentuk
stupa. Di dalam bilik candi terdapat singgasana berbentuk singa yang
berdiri di atas punggung gajah, dahulu tempat meletakkan arca Dewi Tara
yang terbuat dari perunggu. Pendirian candi ini dikaitkan dengan Prasasti
Kalasan yang berangka tahun 700 Saka (778 M). Prasasti itu menyebutkan
adanya pendirian bangunan suci untuk Dewi Tara (Tarabhawanam) dan
sebuah biara untuk pendeta oleh Maharaja Tejahpurana Panangkara.
  • Candi Sari

Candi Sari terletak 150 m di sebelah timur laut Candi Kalasan. Candi ini
berukuran 17,30 x 10 m dengan tinggi 17 m. Candi ini diperkirakan
bertingkat dua dengan lantai atas diperkirakan terbuat dari kayu. Pada
dinding candi terdapat banyak jendela. Berdasarkan arca dan relief yang
ada, candi ini berlatar belakang agama Buddha dan diperkirakan dahulu
digunakan sebagai wihara (asrama bagi pendeta).
  • Candi Sambisari


Candi ini terletak di Desa Sambisari, Kalasan. Candi ini ditemukan secara
tidak sengaja oleh seorang petani ketika sedang mencangkul, setelah lama
terpendam lapisan lahar Gunung Merapi setebal 6,5 m. Kompleks Candi
Sambisari terdiri dari satu candi utama dan tiga candi perwara. Pada candi
utama terdapat empat bilik candi yang masing-masing berisi lingga-yoni,
arca Durga, arca Ganesha, dan arca Agastya yang menandakan bahwa
candi ini berlatar belakang agama Hindu.
  • Keraton Ratu Boko

Kompleks Keraton Ratu Boko terletak di Bukit Boko, sebelah selatan
Candi Prambanan. Berdasarkan sumber prasasti, pada masa lalu daerah ini
bernama Walaing. Semula bangunan ini merupakan sebuah wihara untuk
pendeta Buddha yang bernama Abhayagiri. Selanjutnya pada tahun 856 M
difungsikan sebagai keraton oleh penguasa beragama Hindu yang bernama
Rakai Walaing Pu Kumbhayoni, sehingga pada kompleks ini terdapat
tinggalan agama Buddha dan Hindu. Dari atas bukit ini terdapat
pemandangan yang indah, yaitu Kompleks Candi Prambanan dengan latar
belakang Gunung Merapi.
  • Candi Banyunibo

Candi ini terletak di dataran rendah Bokoharjo, Prambanan. Kompleks
candi ini terdiri dari sebuah candi induk dan enam candi perwara. Candi ini
berlatar belakang agama Buddha karena terdapat stupa pada puncak atap
candi induk. Pada penampil (pintu) candi terdapat relief seorang wanita
dikerumuni anak-anak dan seorang pria sedang duduk. Relief ini
menggambarkan Hariti, dewi kesuburan dalam agama Buddha dan
Vaisravana, suaminya. (oleh: Wahyu Ilman Patria)